Mereka Sekolah dengan Modal "Dengkul"
BAGI sebagian orang, apalah artinya uang senilai Rp 24.000. Akan tetapi, bagi Siti Nurmala, uang senilai itu kini justru amat menentukan kelanjutan pendidikannya. Masa depan hidupnya tengah dipertaruhkan.
Juni nanti, siswa kelas VI SD Negeri 3 Bagek Polak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu akan ikut ujian akhir sekolah. Hanya saja, agar bisa ikut ujian, Siti Nurmala terlebih dahulu harus melunasi tunggakan uang sekolahnya selama setahun. Nilainya? Ya, itu tadi, Rp 24.000!
"Kalau tidak lunas pada bulan Mei nanti saya tidak diizinkan ikut ujian," ucapnya lirih. Duka pun mengembang di wajahnya.
Murdiah, yang duduk di sebelahnya, mengusap-usap kepala Nurmala sambil berkata, "Sabar, sabar...." Murdiah perlu membesarkan hati kemenakannya itu walau dia sendiri tidak memberi kepastian, mengingat penghasilan sebagai buruh tani sekadar bisa makan seadanya setiap hari. Pekerjaan janda ini adalah ngome (membersihkan rumput di sekitar tanaman padi) dengan upah Rp 5.000-Rp 6.000 dan lowong (menyiangi tanaman padi) yang upahnya Rp 3.000 dengan waktu kerja pukul 07.00-11.00.
Memetik cabe dengan upah Rp 4.000 per kilogram adalah pekerjaan lain Murdiah, di samping mepes (mengambil sisa bulir padi yang menempel pada batang karena pekerja kurang baik merontokkannya). Dari mepes itu Murdiah bisa mengumpulkan gabah empat kilogram selama seharian penuh.
Tempat tinggal Murdiah dan Nurmala amatlah sederhana: gubuk berdiri di atas tanah ukuran 3 x 4 meter, terbagi untuk dapur, ruang tamu sekaligus tempat tidur. Gubuk berdinding bedek, tanpa jendela, berlantai semen yang lembab akibat atapnya berupa jerami itu tidak mampu menutup rembesan air hujan.
Dari sumber penghasilan sebatas membuatnya tidak lapar itulah Murdiah menyisihkan keperluan sekolah Nurmala. Namun, pendapatan itu belum menjawab kebutuhan Nurmala. Misalnya, seragam putih-merah dan pramuka yang dipakai sejak kelas III sampai kelas VI adalah sumbangan dari sebuah yayasan.
Orangtua Nurmala memang masih ada, tetapi kehidupan mereka tak lebih baik. Apalagi masih ada adik-adik Nurmala yang menjadi beban hidup kedua orangtuanya.
Hal serupa juga dihadapi Marianti, rekan satu kelas Nurmala. Marianti dan adiknya, Islamiah, juga menunggak uang sekolah masing- masing Rp 24.000. Marianti tinggal serumah dengan neneknya, Salmiah, yang berprofesi sama seperti Murdiah. Dari hasil isur rorok (sisa-sisa bulir padi) 4-5 kilogram itu, dijual satu kilogram (Rp 1.000) untuk uang jajan kedua cucunya. Dengan pendapatan amat terbatas itu mereka hidup sehari-hari.
Rumah Salmiah yang sudah janda itu pun kurang layak huni: berdiri di atas tanah ukuran 4 x 5 meter, rumah itu dihuni empat kepala keluarga (10 orang); tiap keluarga memiliki seorang bayi. Tempat masaknya di halaman atau gang yang membatasi antar rumah warga, sedangkan untuk mandi, mencuci, dan buang hajat di kali.
PENGHIDUPAN Aminah pun tak lebih baik. Warga Lingkungan Moncok, Kelurahan Pejeruk, Ampenan, Kota Mataram, ini harus berdagang sayur-mayur di rumahnya sejak sang suami beristri lagi. Hasil berdagang maksimal Rp 10.000 sehari. Dia meminjam modal usaha Rp 100.000, diganti jadi Rp 150.000, dan diangsur Rp 1.000 sehari. Bila telat sehari, maka cicilan jadi Rp 2.000, meliputi cicilan pokok (Rp 1.000) dan denda (Rp 1.000).
Dengan penghasilan itu, Aminah membiayai sekolah tiga anaknya, Bahram Hakam, kelas II SMA 3 Ampenan, Junaidi dan Fitri Hasanah, kelas II SMP 3 Ampenan. Junaidi mestinya tahun ini kelas tiga SMP, namun sempat berhenti setahun karena tidak mampu bayar sekolah. Bahram belum bayar uang sekolah selama tiga bulan (Januari-Maret), di mana setiap bulan ia dikenai pungutan Rp 50.000. Bukan itu saja, Bahram juga menunggak pembayaran sumbangan (membeli) bangku Rp 200.000. Junaidi dan Fitri Hasanah bahkan belum membayar uang sekolah sejak November 2004, yang setiap bulan sebesar Rp 27.000. Kakak-beradik ini malah masih tersangkut utang uang seragam putih-biru dan baju pramuka sebesar Rp 130.000.
"Namanya orangtua, kerja apa pun asalkan halal saya jalani. Pokoknya anak-anak saya sekolah, jangan seperti saya ini, buta huruf," ucap Aminah.
Kesulitan menyekolahkan anak juga tengah menimpa Halid, warga RT 07 Dusun Labu Api, Desa Labu Api, Lombok Barat. Anaknya, Sofyan Wahyudi, yang duduk di kelas I SMP 1 Mataram menunggak bayar uang sekolah sejak Januari hingga April 2005 sebesar Rp 180.000 sebulan. Begitu pun 10 buah buku paket yang harganya Rp 5.000 per buah belum dibayar.
Sang guru sudah menagih agar Sofyan melunasi kewajibannya itu, tetapi orangtuanya belum punya uang. Halid, ayahnya, menjual jasa sebagai finishing kerajinan kayu yang upahnya tergantung besar-kecilnya barang kerajinan yang dikerjakan. Rata-rata dalam sebulan penghasilannya cuma Rp 300.000.
Upah itu umumnya tersedot untuk biaya sekolah dan ongkos transportasi Sofyan sebesar Rp 4.000 tiap hari. Jarak rumah dengan sekolahnya di Mataram sekitar lima kilometer, dua kali naik angkutan kota (angkot). Sofyan tidak berpikir uang jajan, yang penting ada ongkos angkot dia sudah bersyukur.
Meski semua serba terbatas, prestasi Sofyan cukup membanggakan. Selama di SD ia selalu menduduki rangking satu. Prestasi itu kembali ia ukir pada semester pertama lalu di SMP. Entah apa yang terjadi kelak kalau semua tunggakannya di sekolah tak terbayar.
TERKAIT persoalan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, Pemerintah Provinsi NTB mencanangkan program "Gerbang Emas", singkatan dari Gerakan Membangun Ekonomi dan Masyarakat. Gubernur NTB Lalu Serinata memerintahkan agar sektor vital dan strategis itu dimanifestasikan tiap instansi teknis pada tahun anggaran 2005-2006.
"Tujuan akhir program itu adalah memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia NTB yang kini nomor 30 dari 32 provinsi," kata Gita Aryadi, Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi NTB.
Akan tetapi, gagasan memberdayakan masyarakat miskin bukan saja belum diimplementasikan di lapangan, juga anggaran pendukung komponen pendukung perbaikan Indeks Pembangunan Manusia NTB tidak memadai. Dari Rp 476,5 miliar total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB tahun 2005, sebesar Rp 45,6 miliar (9 persen) di antaranya dialokasikan untuk bidang kesehatan dan Rp 31, 1 miliar (6,5 persen) untuk sektor pendidikan.
Hanya saja, terbatasnya anggaran serta adanya kebijakan otonomi daerah oleh birokrat setempat acapkali dijadikan semacam senjata untuk membela diri, yang intinya meminta masyarakat agar tidak menuntut terlalu banyak kepada pemerintah. Padahal, tahun 2004, dari sekitar 4,1 juta penduduk NTB, tercatat 1.077.376 warga miskin yang membutuhkan bantuan.
Nurmala, Bahram, Sofyan, dan lainnya adalah contoh konkret. Dalam kondisi kurang mampu secara sosial ekonomi, hanya bermodal "dengkul" mereka bersemangat untuk tetap bersekolah. Mereka yakin-seperti diingatkan peribahasa Sasak Lombok: Sai belok jari impan tau ririh, yang kurang lebih artinya bahwa orang bodohlah yang menjadi umpan manusia licik-lewat pendidikanlah mata mereka tetap melihat, telinganya senantiasa mendengar, dan hatinya selalu merasakan baik- buruknya suatu perbuatan, biar jiwanya kian terasah, tidak gampang diadu domba untuk tujuan politis.
BAGI sebagian orang, apalah artinya uang senilai Rp 24.000. Akan tetapi, bagi Siti Nurmala, uang senilai itu kini justru amat menentukan kelanjutan pendidikannya. Masa depan hidupnya tengah dipertaruhkan.
Juni nanti, siswa kelas VI SD Negeri 3 Bagek Polak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu akan ikut ujian akhir sekolah. Hanya saja, agar bisa ikut ujian, Siti Nurmala terlebih dahulu harus melunasi tunggakan uang sekolahnya selama setahun. Nilainya? Ya, itu tadi, Rp 24.000!
"Kalau tidak lunas pada bulan Mei nanti saya tidak diizinkan ikut ujian," ucapnya lirih. Duka pun mengembang di wajahnya.
Murdiah, yang duduk di sebelahnya, mengusap-usap kepala Nurmala sambil berkata, "Sabar, sabar...." Murdiah perlu membesarkan hati kemenakannya itu walau dia sendiri tidak memberi kepastian, mengingat penghasilan sebagai buruh tani sekadar bisa makan seadanya setiap hari. Pekerjaan janda ini adalah ngome (membersihkan rumput di sekitar tanaman padi) dengan upah Rp 5.000-Rp 6.000 dan lowong (menyiangi tanaman padi) yang upahnya Rp 3.000 dengan waktu kerja pukul 07.00-11.00.
Memetik cabe dengan upah Rp 4.000 per kilogram adalah pekerjaan lain Murdiah, di samping mepes (mengambil sisa bulir padi yang menempel pada batang karena pekerja kurang baik merontokkannya). Dari mepes itu Murdiah bisa mengumpulkan gabah empat kilogram selama seharian penuh.
Tempat tinggal Murdiah dan Nurmala amatlah sederhana: gubuk berdiri di atas tanah ukuran 3 x 4 meter, terbagi untuk dapur, ruang tamu sekaligus tempat tidur. Gubuk berdinding bedek, tanpa jendela, berlantai semen yang lembab akibat atapnya berupa jerami itu tidak mampu menutup rembesan air hujan.
Dari sumber penghasilan sebatas membuatnya tidak lapar itulah Murdiah menyisihkan keperluan sekolah Nurmala. Namun, pendapatan itu belum menjawab kebutuhan Nurmala. Misalnya, seragam putih-merah dan pramuka yang dipakai sejak kelas III sampai kelas VI adalah sumbangan dari sebuah yayasan.
Orangtua Nurmala memang masih ada, tetapi kehidupan mereka tak lebih baik. Apalagi masih ada adik-adik Nurmala yang menjadi beban hidup kedua orangtuanya.
Hal serupa juga dihadapi Marianti, rekan satu kelas Nurmala. Marianti dan adiknya, Islamiah, juga menunggak uang sekolah masing- masing Rp 24.000. Marianti tinggal serumah dengan neneknya, Salmiah, yang berprofesi sama seperti Murdiah. Dari hasil isur rorok (sisa-sisa bulir padi) 4-5 kilogram itu, dijual satu kilogram (Rp 1.000) untuk uang jajan kedua cucunya. Dengan pendapatan amat terbatas itu mereka hidup sehari-hari.
Rumah Salmiah yang sudah janda itu pun kurang layak huni: berdiri di atas tanah ukuran 4 x 5 meter, rumah itu dihuni empat kepala keluarga (10 orang); tiap keluarga memiliki seorang bayi. Tempat masaknya di halaman atau gang yang membatasi antar rumah warga, sedangkan untuk mandi, mencuci, dan buang hajat di kali.
PENGHIDUPAN Aminah pun tak lebih baik. Warga Lingkungan Moncok, Kelurahan Pejeruk, Ampenan, Kota Mataram, ini harus berdagang sayur-mayur di rumahnya sejak sang suami beristri lagi. Hasil berdagang maksimal Rp 10.000 sehari. Dia meminjam modal usaha Rp 100.000, diganti jadi Rp 150.000, dan diangsur Rp 1.000 sehari. Bila telat sehari, maka cicilan jadi Rp 2.000, meliputi cicilan pokok (Rp 1.000) dan denda (Rp 1.000).
Dengan penghasilan itu, Aminah membiayai sekolah tiga anaknya, Bahram Hakam, kelas II SMA 3 Ampenan, Junaidi dan Fitri Hasanah, kelas II SMP 3 Ampenan. Junaidi mestinya tahun ini kelas tiga SMP, namun sempat berhenti setahun karena tidak mampu bayar sekolah. Bahram belum bayar uang sekolah selama tiga bulan (Januari-Maret), di mana setiap bulan ia dikenai pungutan Rp 50.000. Bukan itu saja, Bahram juga menunggak pembayaran sumbangan (membeli) bangku Rp 200.000. Junaidi dan Fitri Hasanah bahkan belum membayar uang sekolah sejak November 2004, yang setiap bulan sebesar Rp 27.000. Kakak-beradik ini malah masih tersangkut utang uang seragam putih-biru dan baju pramuka sebesar Rp 130.000.
"Namanya orangtua, kerja apa pun asalkan halal saya jalani. Pokoknya anak-anak saya sekolah, jangan seperti saya ini, buta huruf," ucap Aminah.
Kesulitan menyekolahkan anak juga tengah menimpa Halid, warga RT 07 Dusun Labu Api, Desa Labu Api, Lombok Barat. Anaknya, Sofyan Wahyudi, yang duduk di kelas I SMP 1 Mataram menunggak bayar uang sekolah sejak Januari hingga April 2005 sebesar Rp 180.000 sebulan. Begitu pun 10 buah buku paket yang harganya Rp 5.000 per buah belum dibayar.
Sang guru sudah menagih agar Sofyan melunasi kewajibannya itu, tetapi orangtuanya belum punya uang. Halid, ayahnya, menjual jasa sebagai finishing kerajinan kayu yang upahnya tergantung besar-kecilnya barang kerajinan yang dikerjakan. Rata-rata dalam sebulan penghasilannya cuma Rp 300.000.
Upah itu umumnya tersedot untuk biaya sekolah dan ongkos transportasi Sofyan sebesar Rp 4.000 tiap hari. Jarak rumah dengan sekolahnya di Mataram sekitar lima kilometer, dua kali naik angkutan kota (angkot). Sofyan tidak berpikir uang jajan, yang penting ada ongkos angkot dia sudah bersyukur.
Meski semua serba terbatas, prestasi Sofyan cukup membanggakan. Selama di SD ia selalu menduduki rangking satu. Prestasi itu kembali ia ukir pada semester pertama lalu di SMP. Entah apa yang terjadi kelak kalau semua tunggakannya di sekolah tak terbayar.
TERKAIT persoalan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, Pemerintah Provinsi NTB mencanangkan program "Gerbang Emas", singkatan dari Gerakan Membangun Ekonomi dan Masyarakat. Gubernur NTB Lalu Serinata memerintahkan agar sektor vital dan strategis itu dimanifestasikan tiap instansi teknis pada tahun anggaran 2005-2006.
"Tujuan akhir program itu adalah memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia NTB yang kini nomor 30 dari 32 provinsi," kata Gita Aryadi, Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi NTB.
Akan tetapi, gagasan memberdayakan masyarakat miskin bukan saja belum diimplementasikan di lapangan, juga anggaran pendukung komponen pendukung perbaikan Indeks Pembangunan Manusia NTB tidak memadai. Dari Rp 476,5 miliar total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB tahun 2005, sebesar Rp 45,6 miliar (9 persen) di antaranya dialokasikan untuk bidang kesehatan dan Rp 31, 1 miliar (6,5 persen) untuk sektor pendidikan.
Hanya saja, terbatasnya anggaran serta adanya kebijakan otonomi daerah oleh birokrat setempat acapkali dijadikan semacam senjata untuk membela diri, yang intinya meminta masyarakat agar tidak menuntut terlalu banyak kepada pemerintah. Padahal, tahun 2004, dari sekitar 4,1 juta penduduk NTB, tercatat 1.077.376 warga miskin yang membutuhkan bantuan.
Nurmala, Bahram, Sofyan, dan lainnya adalah contoh konkret. Dalam kondisi kurang mampu secara sosial ekonomi, hanya bermodal "dengkul" mereka bersemangat untuk tetap bersekolah. Mereka yakin-seperti diingatkan peribahasa Sasak Lombok: Sai belok jari impan tau ririh, yang kurang lebih artinya bahwa orang bodohlah yang menjadi umpan manusia licik-lewat pendidikanlah mata mereka tetap melihat, telinganya senantiasa mendengar, dan hatinya selalu merasakan baik- buruknya suatu perbuatan, biar jiwanya kian terasah, tidak gampang diadu domba untuk tujuan politis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar